Selasa, 07 Mei 2013

Makalah Ulumul Qur'an Tentang Nasikh Wal Mansukh


       I.            PENDAHULUAN
Salah satu tema Ulumul Qur’an yang mengundang pendapat para Ulama mengenai nasikh wal mansukh. Perbedaan pendapat Ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam Al-Qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontra diksi bila dililhat dari lahirnya. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan, dan ada juga yang keseluruhan ayatnya bisa dikompromikan.Oleh karena itu, para Ulama’ menerima teori nasikh (penghapusan) dalam Al-Qur’an.
Ulama-ulama klasik yang menerima penghapusan dalam Al-Qur’an ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana yang ayat yang dihapus (mansukh). Dikalangan Ulama’ klasik terdapa tkecenderungan bahwa untuk menekan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang fantastis.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah pengertian Nasikh wal Mansukh ?
B.     Bagaimana Dasar-dasar penetapan Nasikh wal Mansukh ?
C.     Apa saja Rukun dan Syarat Nasikh?
D.    Bentuk-bentuk dan Macam-macam Naskh dalam Al-Qur’an

 III.            PEMBAHASAN
A.            Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ secara bahasa ada empat (4) yaitu :[1]
1.        Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut :
وما ار سلنا من قبلك من رسول ولا نبي ا لا اذاتمنى القى الشيطن في امنيته  فينسخ الله ما يلقي الشيطن ثم يحكم الله ايته  والله عليم حكيم ( الحج :    )


Artinya :
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.”(Qs.Al-hajj : 52)

2.        Tabdil (penggantian), sepertidalamayatberikut :
واذا بد لنا اية مكان اية والله اعلم بما ينزل قالوا انما انت مفةر  بل اكثرهم لايعلمون . ( النحل :     )
Artinya :
“Dan Apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl: 101)

3.      Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.      Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain), seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa sinasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.
Adapun dari segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I “(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi menghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’  ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B.            Dasar- DasarPenetapanNasikhdanMansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
1.      Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadis:
Artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.
2.      Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
3.      Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
C.            Rukun dan Syarat Nasikh
Rukun Nasikh sebagai berikut:
1.      Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Diapulalah yang menghapusnya.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.      Mansukh’anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

Adapun syarat-syarat nasikh adalah:
1.      Yang dibatalkan adalah hukum syara’
2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.      Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian.

D.            Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibai menjadi empat macam yaitu:
1.    Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال  ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين  وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهون . (الانفال :      )
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )

 Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا  فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا ما ئتين  وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين . ( الانفال :     )
Artinya :
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2.      Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف  حقاعلى المتقين . ( البقرة :    )
Artinya :
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.“
 Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.

3.      Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.      Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat  muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:[2]
1.      Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :
“ Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “

2.      Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة  ذ لك خيرلكمواطهر  فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم . ( المجادلة :      )
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang “ ( QS.Mujadilah : 12 )

Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 :
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت  فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله  والله خبيربما تعملون .
 ( المجادلة :    )
Artinya :
“ Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( QS.Al-Mujadilah : 13 )

3.      Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat  rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya :
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya“

Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة .
Artinya :
“ Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”

 IV.            KESIMPULAN
Naskh adalah menghapus atau menghilangkan suatu perkaradengan perkara lain didalam naskh ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan oleh perkara lain dan diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan hadist, hadist dengan hadist, dan hadist dengan Al-qur’an.

    V.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.



[1]QuraishShihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1992, hlm 143;Jalaludin As-Suyuthi, Al-itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t.,Jilid II,20;Muhammad ‘Abd Al-‘AzhimAz-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan, Dar al-Fikr,  Beirut,t.t.,Jilid II, hlm 71.
[2]Ash-Suyudhi, op. Cit., jilid II, hlm. 22; Ash-Shabuni, op. Cit., hlm. 103; Al-Qhatan, op. Cit., hlm. 238-239.

3 komentar: