Hadis Maudhu’
Makalah
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata kuliah : Ulumul Hadits
Dosen
pengampu : H. Fakhrudin Aziz, Lc., MSI
DISUSUN
OLEH :
Nanda
Octavia Putri (
123911009 )
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad diyakini oleh
umat Islam sebagai sumber pokok ajaran Islam. Kedua sumber itu tidak hanya
dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan saja, khususnya lembaga pendidikan
Islam, tetapi juga disebarluaskan keberbagai lapisan masyarakat.
Hadis mempunyai fungsi dan kedudukan yang begitu
besar, namun hadis tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada
zaman nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq.
Seluruh ayat yang terhimpun dalam mushaf Al-qur’an
tidak dimasalahkan oleh umat Islam tentang periwayatannya. Seluruh lafal yang
tersusun dalam setiap ayat tidak pernah mengalami perubahan, baik pada zaman
Nabi Muhammad maupun zaman sesudah-Nya. Jadi kajian yang banyak dilakukan oleh
umat Islam terhadap Al-qur’an adalah kandungan dan aplikasinya, serta yang
sehubungan dengannya.
Kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah SAW,
dengan waktu pembukuan hadis ( hampir 1 abad ) merupakan kesempatan yang baik
bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan
mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada
Rasulullah SAW, dengan alasan dibuat-buat.
Penisbatan seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan hadis palsu atau
Hadis Maudhu’.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apakah pengertian Hadis Maudhu’?
B. Apakah penyebab lahirnya Hadis Maudhu’?
C. Bagaimana usaha pemberantasan Hadis Maudhu’?
D. Bagaimana tanda-tanda Hadis Maudhu’ beserta
kitab-kitabnya?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Maudhu’
الحديث secara bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru, selain itu
hadits pun berarti الخبر
, berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang yang lain. Sedangkan موضع
merupakan isim maf’ul dari kata وضع
– يضع – وضعا yang secara bahasa
berarti
menyimpan,
mengada-ngada, membuat-buat, atau meletakkan.
Adapun pengertian hadits maudhu’ (hadits palsu) secara istilah ialah :
ما نسب الى رسول
الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
وقا ل بعضهم هو المختلق
المصنوع .
“ Hadis yang
disandarkan kepada rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, pdahal beliau
tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkan “
Hadis Maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat atau diciptakan atau
didustakan atas nama Nabi.[1]
Adapun menurut pendapat Ahmad Amin hadis maudhu’ sudah ada sejak masa
Rasulullah. Dasarnya adalah munculnya hadis :
من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ متعده من النا ر . رواه البخا
رى
“ Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku
maka hendaklah tempatnya di neraka “
Para
Ulama’ juga sepakat bahwa tidak halal meriwayatkan hadis maudhu’ bagi seseorang
yang mengetahui keadaannya, apapun misi yang diembannya kecuali disertai
penjelasan tentang ke-maudhu’-annya dan disertai peringatan untuk tidak
menggunakannya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang sangat mansyhur
:
من حدّ ث عنّى بحديث يرى انّه كذب فهو احد الكا ذ بين
“ Barang
siapa meriwayatkan suatu hadis dariku yang ia ketahui bahwa hadis itu dusta,
maka ia adalah salah seorang pendusta.” [2]
B. Sebab-sebab Lahirnya Hadis Maudhu’
Para Ulama’
telah meneliti sebab-sebab pemalsuan hadis dan mengklasifikasi para pemalsunya
berdasarkan motif-motif mereka dalam memalsukan hadis. Hal ini berfungsi
sebagai penerangan untuk mengungkap hakikat hadis-hadis maudhu’. Berdasarkan
sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam,
akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang
mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain :
1. Pertentangan Politik
Perpecahan
umat Islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan ‘Ali
bin Abi Thalib besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umat ke dalam
bebrapa golongan dan kemunculan hadis-hadis palsu. Konflik-konflik politik ini
telah menyeret permasalahan keagamaan masuk kedalam arena perpolitikkan dan
membawa pengaruh juga pada mazhab-mazhab keagamaan.
Pada akhirnya
masing-masing kelompok berusaha mencari dahlilnya di Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dalam rangka mengunggulkan kelompoknya atau mazhabnya masing-masing. Ketika
tidak ditemui apa yang dicari, maka mereka membuat pertanyaan-pertanyaan yang
disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah hadis palsu mulai berkembang. Materi
hadis palsu yang pertama mengangkat tentang seseorang dan kelompoknya.[3]
Menurut Ibnu
Abi Al-Haddad, bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadis palsu adalah dari
golongan Syi’ah, dan kelompok Ahlu Al-Sunnah menandinginya dengan hadis-hadis
lain yang juga maudhu’.[4]
Ibnu
Al-Mubarak mengatakan :
الد ين لأ هل الحد يث والكلا م والخيل لأ هل الرّ أ ي والكذ
ب للرّا فضة
“ Agama itu untuk ahli Hadis, percakapan dan menghanyal untuk ahli ra’yi,
dan kebohongan itu untuk golongan Rafidah “
2. Usaha Kaum Zindik
Kaum Zindik
termasuk kaum golongan yang membenci Islam, maka cara yang paling memungkinkan
adalah melalui pemalsuan hadis, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam. ‘Abd
Al-Karim ibn ‘Auja’ yang dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin ‘Ali, Wali
wilayah Basrah. Ketika hukuman akan dilakukan ia mengatakan “ Demi Allah saya
telah membuat hadis palsu sebanyak 4.000 hadis. Seorang Zindik telah mengaku
dihadapan khalifah Al-Mahdi bahwa dirinya telah membuat ratusan hadis palsu.
Hadis palsu ini telah tersebar dikalangan masyarakat.[5]
Hammad bin Zaid mengatakan “hadis yang dibuat kaum Zindik ini berjumlah 12.000
hadis.[6]
Contoh hadis yang dibuat oleh golongan Zindik ini antara lain :
النظر إلى الو جه الجميل صد قة[7]
“Melihat wajah cantik termasuk
ibadah “
3. Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, dan
Pimpinan
Mereka membuat
hadis palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain. Golongan Al-Syu’ubiyah
yang fanatik terhadap bahasa Persi
mengatakan :
إ نّ الله إذا غضب أنزل الو حي بالعر بية وإذا رضي أنزل
الو حي بالفا رسيّة
“Apabila Allah murka, maka Dia
menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang maka akan menurunkannya
dengan bahasa Persi“
Golongan yang fanatik
kepada mazhab Abu Hanifah pernah membuat hadis palsu “Di kemudian hari aka
nada seorang umat-Ku yang bernama Abu Hanifah bin Nu’man. Ia ibarat obor bagi
umat-Ku”.
Demikian pula
golongan yang fanatik menentang Imam Syafi’i membuat hadis palsu, seperti “Di
kemudian hari aka nada seorang umat-Ku yang bernama Muhammad Idris. Ia akan
lebih menimbulkan madharat kepada umat-Ku daripada Iblis.
4. Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasihat
Mereka
melakukan pemalsuan hadis ini guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan
agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadis yang mereka katakana terlalu
berlebih-lebihan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh dapat dilihat pada hadis
berikut :
من قال لااله إلا الله خلق الله من كلّ كلمة طا ئرا منقاره
من ذهب وور يشه من مر جا ن
“ Barang
siapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai
balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya
dari marjan “.
Iman Suyuthi
mengatakan : “salah seorang pawang yang berkediaman diBaghdad menafsirkan
firman Allah SWT :
عسى أن يبعثك زبّك مقا ما محمو دا ( الإسراء :79 )
dengan arti
bahwa “ Nabi duduk bersanding dengan Allah diatas ‘Arasy-Nya. Riwayat ini
sampai kepada Muhammad bin Jarir Al-Thabary dan beliau menjadi marah karenanya.
Untuk menunjukkan kemarahannya itu, beliaun menulis pada pintu rumahnya “ Maha
suci Allah yang tidak memerlukan teman yang baik dan tidak pula seorangpun yang
duduk menemani-Nya di ‘Arsy-Nya.” [8]
5. Perselisihan Mazhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadis-hadis palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini
berasal dari para pengikut Mazhab. Mereka berani memalsukan hadis karena
didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan mazhabnya masing-masing.[9]
Diantara
hadis-hadis palsu tentang masalah ini adalah :
a. Siapa yang mengangkat kedua tangan dalam salat, maka
salatnya tidak sah.
b. Jibril menjadi Imamku dalam salat di Kha’bah, ia
(Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
c. Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga
kali.
d. Semua yang ada di bumi dan langit serta diantara
keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan Al-Qur’an. Dan kelak aka nada
diantara umatku yang mengatakan “al-Qur’an itu makhluk”. Barang siapa yang
mengatakan demikian, niscaya ia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung dan
saat itu pula jatuhlah talak kepada istrinya.
6. Membangkitkan
Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa Yang Dilakukan
Banyak diantara para ‘Ulama yang membuat hadis palsu dengan dan bahkan
mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah,
serta menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan “kami berdosa
semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya”. Nuh
bin Abi Maryam telah membuat hadis berkenaan dengan fadilah membaca surat-surat
tertentu dalam al-Qur’an. Ghulam Al-Khail (dikenal ahli zuhud) membuat hadis
tentang keutamaa wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia.
Dalam kitab Tafsir Al-Tsa’laby, Zamakhsyari dan Baidhawy terdapat banyak
hadis palsu.[10]
Begitun juga dalam kitab Ihya’ ‘Ulum Al-Din.[11]
7. Menjilat Penguasa
Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadis
sebagai pemalsu hadis tentang “perlombaan”. Matan asli sabda Raulullah berbunyi
:
لا سبق الاّ فى فصل او خف
Kemudian
Ghiyats menambah kata او
جناح dalam
akhir hadis tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari
dirham, namun ketika Ghiyas membalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurny, seraya
berkata “aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasulullah”. Menyadari
akan hal itu, saat itu juga Khalifah memerintahkan untuk menyembelih burung
merpati.
Dari bebarapa motif membuat hadis palsu di atas, kiranya dapat
dikelompokkan menjadi :
Pertama, ada yang
karena disengaja; kedua ada yang tidak sengaja merusak agama; ketiga
ada yang karena keyakinannya bahwa membuat hadis palsu diperbolehkan; dan keempat ada yang karena tidak tahu
bahea dirinya membuat hadis palsu.[12]
Dapat juga dikatakan bahwa tujuan mereka membuat hadis palsu ada yang negatif
dan ada yang menganggap mempunyai nilai positif. Sekalipun demikian, tetap
harus dikatakan apa pun alasan yang mereka kemukakan, bahwa membuat hadis dan
meriwayatkan hadis palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan, karena
hal ini sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, seperti yang telah
disebutkan terdahulu.
C. Usaha Pemberantasan Hadis Maudhu’
Para ulama’ mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan
menghindarkan bahya para pemalsu. Untuk itu, mereka menggunakan berbagai
metodologi yang cukup unik yaitu sebagai berikut :
1) Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati
tingkah laku dan riwayat mereka, sehingga mereka rela meninggalkan keluarga dan
tanah airnya.
Mereka rela dengan sedikit bakal dan pakaian using dalam mencari Sunnah
dan mengenal rawinya, sehingga mereka dapat membedakan antara rawi yang tsiqat
dan rawi yang jujur. Tetapi mengalami kekacauan hafalannya, serta rawi yang
pendusta dan fasik. Hal itu dapat mereka ketahui melalui penerapan talak ukur yag
dapat menentukan keadilan dan ke-dhabith-an rawi, seperti yang telah
dijelaskan dimuka.
2) Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan
mengungkap-ungkap kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para
pemuka masyarakat.
Yahya bin Said berkata, “Aku bertanya kepada Syu’bah, Syufyan al-Tsauri,
Malik bin Anas, dan Syufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang dicurigai dalam
meriwayatkan hadis atau tidak hafal dengan baik.” Mereka menjawab, “Jelaskan
keadaannya itu kepada manusia.”[13]
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Kami menghindari hadis Dawud bin
al-Husain.” Ia berkata pula, “jangan kau dengar dari Baqiyah sesuatu yang
termasuk Sunah, tetapi dengarlah darinya sesuatu yang berkaitan dengan pahala
dan lainnya,[14] ia
adalah seorang mudallis.”
Hammad bin Zaid berkata, “Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata kepada kami yakni
say, ‘Ubbad bin Ubbad, dan Jarir bin Hazim tentang seseorang. Kami berkata,
”Sebaiknya engakau tidak menyebut-nyebutnya.” Maka seakan-akan ia akan bersikap
lunak kepada kami dan memenuhi usul kami. Kemudian, setelah beberapa hari
berlalu aku mau salat jum’at, maka tiba-tiba Syu’bah memanggilku dari belakang
dan berkata, “Orang-orang yang aku sebutkan namanya kepadamu itu aku anggap
tidak memenuhi kriteriaku.”[15]
Masyarakat Muslim menyambut pernyataan para ulama dan menerima sepenuhnya
serta mengamalkannya. Demikianlah, para imam hadis itu memiliki pengaruh yang
amat tinggi ditengah masyarakat, dan kata-kata mereka sangat dipatuhi.
3) Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak
menerima hadis yang tidak bersanad, bahkan hadis yang demikian mereka anggap
sebagai hadis yang batil. Sementara itu hadis-hadis yang bersanad masih
diteliti sanad dan matannya berdasarkan kriteria penerimaan hadis dan
kaidah-kaidah yang berlaku baginya.
4) Menguji kebenaran hadis dengan membandingkannya
dengan riwyat yang melalui jalur lain dan hadis-hadis yang telah diakui
keberadaannya. Dengan langkah ini dapat diketahui hal-hal yang mencurigakan dalam
hadis yang bersangkutan atau cacat yang timbul dari rawi yang jujur.
5) Menetapkan pedoman-pedoman untuk mengungkap hadis
maudhu’.
6) Menyusun kitab himpunan hadis-hadis maudhu’ untuk _ember
penerangan dan peringatan kepada masyarakat tentang keberadaan hadis-hadis
tersebut.
D. Tanda-tanda Hadis Maudhu’ beserta Kitab-kitabnya
Tanda-tanda kemaudhu’an hadis terbagi menjadi dua
bagian :
1.
Tanda-tanda
pada sanad
Banyak tanda-tanda kemaudhu’an hadis pada sanad,
dibawah ini akan dipaparkan sebagai berikut :
1) Perawi itu terkenal berdusta (seorang pendusta) dan
tiada diriwayatkan hadis yang ia riwayatkan itu, oleh selain yang dipercaya.
Para ulama
telah membahas dengan sedalam-dalamnya orang-orang yang dusta itu dalam
kitab-kitab jarh dan ta’dil.
2) Pengakuan perawi sendiri.
Abu ‘Ishmah
Nuh ibn Abi Maryam mengaku sendiri bahwa ia telah memaudhu’kan hadis mengenai
keutamaan surat-surat al-Qur’an. Dan sebagai pengakuan ‘Abdul Karim ibn Abil ‘Auja
yang mengaku telah membuat 4000 hadis, yang mengenai hukum halal atau haram.
3) Kenyataan sejarah mereka tak mungkin bertemu.
Perawi yang meriwayatkan suatu hadis dari
seorang syaikh yang nyata bahwa ia tidak pernah berjumpa dengan syaikh itu,
atau ia dilahirkan sesudah syaikh tersebut meninggal, dan ia tak pernah ia
datang ke tempat syaikh itu, yang dia bilang disnalah ia dengar hadis.
Ma’mun ibn
Ahmad Al Sarawy menda’wa, bahwa ia mendengar hadis dari Hisyam ibn ‘Ammer
kepada Ibnu Hibban. Maka Obnu Hibban bertanya : bila engkau ke kota Syam?
Ma’mun menjawab
: Pada tahun 250 H mendengar itu Ibnu Hibban berkata ; Hisyam meninggal dunia
tahun 245 H.
Ketika
Abdullah ibn Ishaq Al-Kirmany, menerangkan bahwa ia mendengar hadis dari
Muhammad ibn Ya’qub, ditolak dakwa’aannya dengan alasan bahwa Muhammad ibn
Ya’qub itu meninggal dunia 9 tahun sebelum Abdullah ibn Ishaq lahir.
4) Keadaan perawi-perawi sendiri serta pendorong-pendorong
yang mendorongnya untuk membuat hadis.
Dapat
diketahui, bahwa hadis itu maudhu’ dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang
mengelilingi perawi kala ia meriwayatkan hadis tersebut.
Diriwayatkan
oleh Al Hakim dalam kitabnya dari Saif ibn ‘Amer Ath Thaiyiby, ujarnya : “ Kami
pada suatu hari berada ditempat Sa’ad ibn Tharif. Maka datanglah anaknya
terengah-engah sambil menangis. Sa’ad bertanya : “Mengapa engkau ?”. Anaknya
menjawab : “Saya dipukul oleh guru“. Dikala itu Sa’ad terus mengeluarkan sebuah
hadis, seraya berkata : “Saya akan menjelekkan budi pekertimu”. Diriwayatkan
kepadaku oleh ‘Ikrimah dari Abbas dan Nabi :
معلمو صبيا نكم شراراكم ،افلهم رحمة لليتيم واغلظهم على
المسكين .
“Guru
anak-anak itu adalah oaring-orang yang paling buruk budi pekertinya dari kamu.
Mereka paling kurang merahmati anak-anak yatim dan paling kesat hatinya
terhadap orang-orang miskin”.
Dan seumpama hadis :
الهر ييسة تشدَ الطهر .
“ Harisah
itu menguatkan belakang (punggung) “.
Hadis ini dibuat oleh Muhammad ibn Al Hajjaj An
Nakha’y, seorang penjual Harisah (semacam makanan yang dibuat dari gandum yang
ditumbuk dan dicampur daging, serupa bubur kental).
2. Tanda-tanda pada Matan
Tanda-tanda
pada matan ada banyak yaitu :
1) Keburukan susunannya dan keburukan lafadhnya.
Hal ini diketahui sesudah kita mendalamkan
ilmu Bayan. Memang apabila telah rapat pergaulan kita dengan hadits, terasalah
oleh kita kelazatan susunan hadits dan terasa pula susunan yang tidak mungkin
keluarnya dari lidah Nabi SAW.
2) Kerusakan maknanya.
a) Karena berlawanan makna hadis dengan soal-soal yang
mudah didapati akal dan tak dapat pula kita ta’wilkan, seperti hadis dibawah
ini :
انّ سفينة نوح طا فت بالبيت سبعا وصلت بالمقام ركعتين .
“ Bahwasanya bahtera Nuh
berthawaf tujuh kali keliling ka’bah dan bersembanyang dimakam Ibrahim dua
raka’at “
b) Karena berlawanan dengan undang-undang umum bagi
akhlaq, atau menyalahi kenyataan, seperti hadis :
لا يو لد بعد الما ئة مو لو د لله فيه حا جة .
“ Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun
seratus yang ada padanya keperluan bagi Allah “
c) Karena berlawanan dengan ilmu-ilmu kedokteran,
seperti hadis :
البا ذنجا ن شفاء من كلّ شيء .
“ Buah terong itu penawar bagi segala penyakit “
d) Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan)
yang ditetapkan akal terhadap ketentuan Allah, bahwa Allah suci tidak serupa dengan
makhluknya. Lantaran ini, hukumnya hadis palsu :
انّ الله خلق الفرس فاجرا ها فعر قت فحلق نفسها منها .
“ Bahwasanya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia
memacukannya. Maka berperulah kuda itu, lalu Tuhan menjadikan dirinya dari
sebagian kuda itu “
e) Karena menyalahi undang-undang Allah dalam menjadikan
alam, seperti hadis yang menerangkan bahwa ‘Auj ibn ‘Unuq mempunyai panjang
tiga ratus hasta.
Dikala Nabi Nuh menakutinya dengan air bah, ia
berkata : “Bawalah aku kedalam piring mangkukmu ini”. Dikala itu
terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja. Kalau dia mau makan harus memasukan tangannya kedalam
laut, lalu membakar ikan yang diambil dengan panas matahari yang tidak jauh
dari ujung tangannya.
f) Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak
dibenarkan oleh akal, seperti hadis :
الدّ يك الابيض حبيب حبيبي
“Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku
Jibril “
3. Menyalahi keterangan al-Qur’an yang tegas,
keterangan Sunnah Mutawatir dan kaidah-kaidah kulliyah.
a) Apabila sesuatu hadis menyalahi sharih al-Qur’an dan
tidak dapat dita’wilkan, hukumnya maudhu’. Seperti hadis :
ولد الزّ نا لا يد خل الجنّة الى سبعة أبنا ء
“ Anak zina tidak masuk surge hingga tujuh turunan “
Hadis ini menyalahi firman :
ولا تزروا زرة وزر اخرى .
“Dan tiada seseorang yang bersalah memikul kesalahan
orang lain” (QS. Al-An’am :164)
Sebenarnya hukum yang dikehendaki hadis itu diambil dari
At-Taurat.
b) Dan dihukum demikian juga, apabila menyalahi Sunnah
yang mutawatir. Seperti hadis :
اذا حدّ ثتم عنّي بحديث يوا فق الحقّ فخذوا به ، حدّثت به ام لم احدّث .
“ Apabila diriwayatkan kepadamu sesuatu hadis yang
sesuai dengan kebenaran, ambilah akan dia; ada aku yang menerangkannya ataupun tidak “
Hadis diatas berlawanan dengan hadis dibawah ini :
من كذ ب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّا ر .
“ Barang siapa yang berdusta terhadapku dalam
keadaan sengaja, hendaklah ia membuat tempat duduknya dalam neraka “
Dan juga bila menyalahi kaidah umum yang dinisbatkan
al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti hadis :
من ولد له ولد فسمّا ه محمّدا كان هوومو لوده فى الجنّة .
“Barang siapa memeperoleh anak lalu dinamai
Muhammad, adalah dia dan anaknya itu didalam surga “
Ini berlawanan dengan kaidah umum, yaitu masuk surga
harus dengan amalan-amalan yang shalih, bukan dengan nama ataupun gelar.
4. Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa
Nabi SAW. Seperti di bawah ini :
Hadis yang
menerangkan bahwa Nabi memberatkan jizyah atas penduduk-penduduk Khaibar dengan
disaksikan oleh Sa’ad dan dituliskan oleh Mu’awiyah ibn Abi Syufyan. Padahal menurut
riwayat yang benar, jizyah belum lagi diketahui adanya (diundangkannya) pada
kala itu. Soal jizyah baru diundangkan, sesudah peperangan Tabuk. Sa’ad
meninggal sebelum itu pada tahun peperangan Khandaq. Mu’awiyah Islam sesudah
Nabi mengalahkan Mekkah.
Dan
seperti hadis yang dikatakan dari Anas, bahwa Nabi berkata : “Hanya saja saya
haramkan masuk kedalam tempat mandi umum, dengan tidak memakai kain “. Padahal
menurut sejarah, Nabi tak pernah sekalipun masuk ke tempat mandi umum, karena
tempat-tempat mandi umum belum terkenal dimasa itu.
5. Sesuai hadis dengan madzhab yang dianut oleh rawi,
sedang rawi itu pula orang yang sangat fanatic kepada madzhabnya.
Umpamanya,
hadis yang diriwayatkan oleh Habbah ibn Juweim, ujarnya : Saya dengan ‘Ali
berkata :
كنت اعبدالله مع رسوله قبل ان يعبده احد من هذه الامّة
بخمس سنين أوسبع سنين .
“ Saya
menyembah Allah beserta Rasul-Nya sebelum disembah oleh seseorang dari umat
ini, lima tahun atau tujuh tahun “
Kata Ibnu Hubban : Habbah seorang
yang terlalu fanatic kepada madzhab Syi’ahnya.
6. Mengandung (menerangkan) urusan yang menurut
seharusnya, kalau ada yang dinukilkan oleh orang ramai.
Sesuatu hadis
yang dikatakan didengar oleh orang ramai, padahal hadis itu tidak diketahui
orang lain, hanya diriwayatkan oleh orang atau seorang, nyatalah bahwa dia itu
maudhu’.
Inilah
sebabnya Ahlu Sunnah menetapkan hadis Ghudair, maudhu’. Kata ulama : Diantara
tanda kemaudhu’an hadis tersebut ialah Ghudair menda’wakan, bahwa yang demikian
Nabi diucapkan dihadapan orang ramai, padahal seorang sahabat pun tak ada yang
meriwayatkannya ketika Abu Bakar
diangkat menjadi khalifah.
Kata Ibnu
Taimiyah : Diantara hadis maudhu’, ialah hadis yang menegaskan kekhalifahan
Ali.[16]
Sedangkan kata
Ibnu Hazam : yang meriwayatkan hadis tersebut hanya seorang yang dinamai Abal
Harma, yang kami tidak mengenalnya.
7. Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap
perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar, terhadap suatu
perbuatan yang kecil.
Para qushshash
telah babnyak sekali membvuat riwayat-riwayatyang macam ini, diantaranya :
من صلّى الضّحى كذا ركعة اعطي ثواب سبعين نبيّا
“ Barang siapa bersembahyang dhuha begini raka’atnya,
diberilah pahala tujuh puluh Nabi “.
من قال لااله الاّ الله ، خلق الله طا ئرا لهسبعون الف لسان . لكلّ لسان سبعون
الف لغة يسنغفرون له .
“ Barang siapa yang membaca la ilaha illallah,
niscaya dijadikan Allah untuknya seekor burung yang mempunyai tujuh puluh
lidah. Pada tiap-tiap lidah, tujuh puluh ribu bahasa yang memohonkan ampun
kepada Allah untuk orang itu “.
Inilah
sepenting-pentingnya kaidah yang telah ditetapkan ulam-ulama hadis untuk dasar
memeriksa benar tidaknya sesuatu hadis dan untuk mengetahui mana yang shahih
dan mana yang maudhu’.
Dengan memperhatikan apa
yang telah disampaikan nyatalah bahwa para ulama hadis tidak mencukupi dengan
memperhatikan sanad dan hadisnya saja. Akan tetapi mereka juga memperhatikan
matannya.
Adapun kitab-kitab hadis
maudhu’ diantaranya sebagai berikut :
a. Al-Maudhu’ karya al-Imam al-Hafizah Abul Faraj
Abdurrahman bin al-Jauzi ( wafat 597 H ).
b. Al-La’ali’ al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah
karya al-Hafizh Jalaludin al-Suyuthi ( wafat 911 H ).
c. Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits
al-Syani’ah al-Maudhu’ah karya al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin
‘Iraq al-Kannani.
d. Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if karya
al-hafizh ibnu Qayyim al-Jauziyah ( wafat 751 H ).
e. Al-Mashnufi al-Hadits al-Maudhu’ karya Ali Al-Qari (wafat
1014 H).
IV.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat atau dipalsukan oleh orang yang
tidak bertanggung jawab dan menyebabkan banyaknya kesalah pahaman di lingkungan
masyarakat. Dengan kata lain hadis tersebut tidak bersumber dari hadis rasul,
melainkan orang yang tidak dikenal.
Faktor munculnya
hadis maudhu’ disebabkan oleh berbagai macam hal diantaranya faktor
pertentangan politik, usaha kaum zindiq, perselisihan dalam ilmu kalam, sikap
fanatik, menarik simpati kaum awam, dan menjilat penguasa.Adapun usaha
menyelamatan hadis maudhu’ diantaranya menyusun kaidah penelitian hadis,
menyusun kitab-kitab yang memuat tentang hadis maudhu’. Tanda-tanda hadis
maudhu’ juga dapat diketahui melalui sanad dan matan yang sudah dijelaskan para
ulama’.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat
menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shalih,
Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.
Ash-Shiddieqy,
T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta : Bulan Bintang,
1995.
Ismail,
M. Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,
Jakarta
: Gema Insani Press, 1995.
Nuruddin,
‘Ulumul Hadis, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012.
Rofi’ah,
Khusniati, Studi Ilmu Hadith, Yogyakarta : Nadi Offset, 2010.
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.
[1]
Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ Ala Sunnah al-Muhammdiyah, 119
[2]
Takhrij hadis ini telah dikemukakan dimuka. Lihat al-Tadrib, hlm 178.
[3]
Musthafa Al-Siba’I, op. cit., hlm. 79
[4]
Ibid.bandingkan dengan ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, op.cit.,
hlm. 420-421
[5]
Ibid, hlm. 207-208
[6]
Mahmud Al-Thahhan, op. cit., hlm. 70
[7]
Musthafa Al-Siba’I, op. cit., hlm. 86-87
[8]
Ibid, hlm. 89.
[9]
‘Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm. 141
[10]
Ahmad Mahmud Syakir, op. cit., hlm. 72.
[11]
Mahmud Abu Rayyah, op, cit., hlm.123.
[12]
Jalal Al-Din ‘Abd Al-Rahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi, Al-Laily al-Mausu’ah
Fi Hadits Al-Maudhu’ah, (Mesir: Al-Maktabah Al-Islamiyah), Juz II, hlm.
276-277.
[13]Al-Khifayah,
hlm.43
[14]
Muqadimmah al-Jarhwa al-Ta’dil, hlm. 40-41.
[15]
Al-Kifayah, hlm. 44.
[16]
Minhajus Sunnah, hlm.118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar