Senin, 06 Mei 2013

Makalah Fiqih Tentang Thaharah





THAHARAH

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Fiqh Ibadah
Dosen pengampu : Lutfiyah, M.SI



Disusun oleh :
Muhamad Irfan                     ( 123911005 )
Nanda Octavia Putri             ( 123911009 )
Desi Kartika                         ( 123911011 )

                                 
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2013





I.       PENDAHULUAN
Dalam pembahasan fiqh, secara umum selalu diawali dengan uraian tentang thaharah. Secara khusus, dalam semua kitab atau buku fiqh ibadah selalu diawali dengan thaharah. Hal ini tidak lain karena thaharah ( bersuci ) mempunyai hubungan   yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ibadah. Sebaliknya, ibadah juga berkaitan erat dengan thaharah. Artinya, dalam melaksanakan suatu amalan ibadah, seseorang harus terlebih dahulu berada dalam keadaan bersih lagi suci, baik dari hadas besar maupun hadas kecil, termasuk sarana dan prasarana yang digunakan dalam beribadah, mulai dari pakaian, tempat ibadah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, thaharah dengan ibadah ibarat dua sisi mata uang, dimana dimana antara satu sisi dengan sisi lainnya tidak dapat dipisahkan.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian serta macam-macam thaharah?
B.     Apa saja alat-alat untuk bersuci?
C.     Apa macam-macam hadas ?
D.    Apa macam-macam najis dan cara menghilangkannya?

III.  PEMBAHASAN
A.      Pengertian serta Macam-macam Thaharah
1.    Pengertian Thaharah
Pengertian thaharah secara bahasa adalah ”bersuci dan bebersih dari kotoran material dan immaterial”. Sedangkan maknanya secara syariat adalah “mengangkat hadats dan menghilangkan najis”.
Mengangkat hadats itu terjadi dengan menggunakan air bersama niat. Yaitu di seluruh tubuh juka ia adalah hadats besar atau si anggota tubuh yang empat jika ia adalah hadats kecil. Bersuci bisa menggunakan apa yang menggantikan air ketika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya, yaitu dengan cara tayamum.[1]
Kesucian dalam ajaran Islam dijadikan syarat sahnya sebuah ibadah, seperti shalat, thawaf, dan sebagainya. Bahkan manusia sejak lahir hingga wafatnya juga tidak bisa lepas dari masalah kesucian. Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa berthaharah adalah sebuah kewajiban. Sehingga Allah sangat menyukai orang yang mensucikan diri sebagaimana firman berikut ini:
 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci(QS. al-Baqarah/2: 222)
     Dalam sebuah hadis dijelaskan pula:
الطُّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيمْاَنِ
    Kesucian itu sebagian dari iman.”[2]
Secara umum ruang lingkup thaharah ada dua,  yakni membersihkan najis ( istinja’ ) dan membersihkan hadas. Dari masing-masing ruang lingkup akan diperinci lagi. Dalam istinja’ akan dibahas mengenai benda najis, bahan untuk membersihkan najis, dan cara membersihkan najis.[3]
2.    Macam-macam Thaharah
a.       Wudlu
Dalam perkembangannya, wudlu sebagai wahana mensuciakan diri dari hadas kecil, dapat digantikan dengan praktek penyucian lainnya yaitu ketika tidak didapatkan air. [4]
 Adapun rukun wudlu adalah sebagai berikut :
a)      Niat. hendaknya berniat menghilangkan hadast kecil, dan cara melakukannya tepat pada waktu membasuh muka, sesuai dengan pengertian niat itu sendiri : “Qhasdus Syai’in, muqtarinan bi fi’lihi”. Yang artinya : meniatkan sesuatu secara beriringan dengan  perbuatan.
b)      Membasuh seluruh muka ( mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri )
c)      Membasuh kedua tangan sampai siku-siku
d)     Mengusap sebagian rambut kepala
e)      Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
f)       Tertib ( berturut-turut ).[5]
b.      Tayamum
Menurut pengertian bahasa, tayammum berarti maksud atau tujuan. Sedang menurut pengertian syariat, tayamum berarti menuju ke pasir untuk mengusap wajah dan sepasang tangan dengan niat agar diperbolehkan melakukan shalat.[6]
Adapun rukun dan tata cara tayamum adalah sebagai berikut :
a)    Niat
               Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana niat tayamum seharusnya. Ulama Malikiyah dan Syafi’iah berpendapat hampir sama, niat tayamum yang dianggap sah adalah niat tayamum untuk diperbolehkan melaksanakan sholat atau niat melaksanakan kewajiban tayamum, sedangkan untuk menghilangkan hadats tidak sah.
               Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa niat hanya merupakan syarat sah tayamum, bukan rukun. Menurut kelompok ini,  yang penting niat disertai tujuan tayamum.[7]
b)      Mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu.
Menurut  Malikiyah dan Hanabillah orang yang akan bertayamum harus menepukkan tanganya ke tanah yang suci satu kali kemudian mengusapkanya ke tangan dan wajah, sedangkan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah harus menepukkan tangan dua kali, yang pertama untuk diusapkan ke tangan dan yang kedua ke wajah.
Batasan dalam mengusap wajah tidak diharuskan debu merata sampai kulit dasar jenggot meskipun tidak lebat. Sedangkan bagian tangan sebagian ulama berpendapat hanya mengusap sampai pergelangan tangan saja dan menganggap sampai ke siku sebagai sunnah, namun sebagian mengqiyaskan dengan wudhu yaitu membasuh sampai siku-siku.
c)       Tartib
Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tartib menjadi rukun tayamum untuk menghilangkan hadats kecil, sedangkan untuk menghilangkan hadats besar tidak menjadi rukun. Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa tartib hanya sunah, bukan wajib.
d)      Muwalah
Shafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa muwalah atau berurutan tidak termasuk rukun tayamum, melainkan sunah. Sedangkan Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk memasukkanya ke dalam rukun tayamum.[8]
c.       Mandi besar
Mandi adalah meratakan atau mengalirkan air keseluruh tubuh. Sedangkan mandi besar atau junub atau wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih ( air mutlak ) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut keseluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadast besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah sholat.
Mandi itu disyariatkan berdasarkan Firman Allah SWT :
و ان كنتم جنبا فا طهروا
Dan jika kamu junub hendaklah bersuci!” (Q.S Al-Maidah : 6).[9]
Hal-hal yang mewajibkan mandi wajib. Mandi itu diwajibkan atas lima perkara :
a.         Keluar air mani disertai syahwat, baik diwaktu tidur maupun bangun, dari laki-laki atau wanita.
b.        Hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria kedalam alat kelamin wanita, walau tidak sampai keluar air mani.
c.         Firman Allah Ta’ala : “ jika kamu junub, hendaklah kamu bersuci ”.
d.         Terhentinya haid dan nifas.
e.          Mati, bila seorang menemui ajal wajiblah memandikannya berdasarkan ijma’.
f.           Orang kafir bila masuk islam.[10]
 Rukun ( Fardhu ) dan Tata Cara Mandi Besar.
Rukun mandi besar ada dua antara lain :
1)        Niat ( bersamaan dengan membasuh permulaan anggota tubuh ).
2)   Membasuh air dengan tata keseluruhan tubuh, yakni dari ujung rambut sampai ujung kaki.[11]
Tata Cara Mandi Wajib. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama mandi ialah sebagai berikut :
a)    Membaca Niat. Yaitu “ Nawaitul ghusla lirof’il hadatsil fardlol ilaahita’ala ”.
b)   Membilas atau membasuh seluruh badan dengan air ( air mutlak yang menyucikan ) dari ujung kaki ke ujung rambut secara merata.
c)     Hilangkan najis yang lain bila ada.[12]
d.      Istinja’ ( cebok )
Bersuci setelah buang air kecil atau air besar disebut istinja’. Dalam hal ini boleh memakai air, dan jika tidak mendapati air maka boleh memakai tiga buah batu kering. Tiga buah batu yang dimaksud adalah bisa berupa tiga buah batu atau juga satu batu yang memiliki tiga sisi ( segitga ). Hukum Istinja’ adalah wajib, bagi yang tidak melakukannya terhitung dosa.
Etika saat buang air, dalam ajaran Islam :
a.    Masuk kamar mandi mendahulukan kaki kiri, dan keluar menggunakan kaki kanan
b.    Hendaklah memakai alas kaki atau sandal
c.    Selama dikamar mandi jangan bicara kecuali terpaksa
d.   Hendaklah jauh dari orang agar baunya tidak menggangu
e.    Menjauhi diri dari pandangan orang lain
f.     Jangan buang air di air yang tenang ( tidak mengalir )

B.       Alat –alat untuk bersuci
                                   1.       Air
Ditinjau dari hukumnya air dibagi menjadi empat :
a.         Air mutlak yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan. Sebab belum berubah sifat ( bau, rasa, dan warnanya ).
b.        Air musyammas yaitu air suci yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun makruh digunakan. Mislanya, air bertempat dilogam yang bukan emas, dan terkana panas matahari.
c.         Air musta’mal yaitu air suci tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan karena sudah dipakai untuk bersuci, meskipun air itu tidak berubah warna, rasa, dan baunya.
d.        Air mutanajis yaitu air yang terkena najis, dan jumlahnya kurang dari dua kullah. Karenanya air tersebut tidak suci dan tidak dapat dipakai mensucikan.
                                   2.       Tanah
Dapat mensucikan telapak kaki dan sandal yang dipergunakan berjalan diatas tanah, atau dapat dipergunkan untuk menggosok sesuatu yang melekat diatas sandal, dengan syarat bahan najis itu dapat hilang, menurut imamiyah dan hanafi.

C.        Macam - macan Hadas
Hadas adalah suatu keadaan tidak suci dan tidak dapat dilihat, tetapi wajib disucikan demi sahnya ibadah. Hadas dibagi dua :
1.    Hadas kecil penyebabnya keluar sesuatu dari dubur dan kubul, menyentuh lawan jenis yang bukan muhrimnya, dan tidur nyenyak dalam keadaan tidak tetap. Cara mensucikan hadas kecil ini adalah dengan wudhu atau tayamum.
2.    Hadas Besar penyebabnya keluar air mani, bersetubuh ( baik keluar mani atau tidak ), menstruasi atau nifas ( keluar darah karena melahirkan ), dan lain sebagainya. Cara mensucikan hadas besar adalah dengan mandi wajib.

D.      Macam - macam Najis dan cara menghilangkannya
Najis adalah suatu benda kotor menurut syara’ ( hukum agama ). Benda – benda najis itu meliputi :
1.    Darah, dan nanah
2.    Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang
3.    Anjing dan babi
4.    Segala sesuatu yang dari dubur dan qubul
5.    Minuman keras, seperti arak
6.    Bagian atau anggota tubuh binatang yang terpotong dan sebagainya sewaktu masih hidup
Adapun macam - macam  najis yaitu sebagai berikut :
1.    Najis Ringan ( mukhofafah ), yaitu air kencing bayi lelaki yang berumur dua tahun, dan belum makan sesutu kecuali air susu ibunya. Menghilangkannya cukup diperceki air pada tempat yang terkena najis tersebut. Jika air kencing itu dari bayi perempuan maka wajib dicuci bersih. Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya pakaian dicuci jika terkena air kencing anak perempuan, dan cukup diperciki air jika terkena kencing anak laki - laki “. ( HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim )
2.    Najis Sedang ( mutawasitoh ), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul manusia atau binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai ( kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang ) serta susu, tulang, dan bulu hewan yang haram dimakan. Dalam hal ini tikus termasuk golongan najis, karena tikus hidup di tempat - tempat kotor  seperti comberan dan tempat sampah sekaligus mencari makanan disana. Sedangkan kucing tidak najis. Rasulullah SAW telah bersabda, “ Sungguh kucing itu tidak najis, karena ia termasuk binatang yang jinak kepada kalian “. ( HR Ash-habus Sunan dari Abu Qotadah ra.)
Najis mutawasitoh dibagi dua :
a)      Najis I, yaitu yang berwujud ( tampak dan tidak dilihat ). Misalnya, kotoran manusia atau binatang.
b)      Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak berwujud ( tidak tampak dan tidak terlihat ), seperti bekas air kencing, dan arak yang sudah mongering.
Cara membersihkan najis mutawashitho ini, cukupalah dibasuh tiga kali agar sifat - sifat najisnya( yakni warna, rasa, dan baunya ) hilang.
3.    Najis berat ( mugholladhoh ) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannyaharus dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu air yang bercampur tanah. Muhammad Rasulullah SAW bersabda : “ Jika bejana salah seorang diantara kalian dijilat anjing, cucilah tujuh kali dan salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah ”. ( HR.Muslim ).
Selain tiga jenis kotoran diatas, ada satu lagi, yaitu najis ma’fu ( najis yang dimaafkan ). Antara lain nanah dan darah yang cuma sedikit, debu, air dari lorong - lorong ynag memercik sedikit yang sulit dihindarkan.

IV. KESIMPULAN
Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah atau bersuci. Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting. Macam - macam Thaharah ada empat yaitu pertama, tentang wudhu yaitu menghilangkan najis dari badan. Kedua, tentang bertanyamum yaitu pengganti air wudhu disaat kekeringan. Ketiga, mandi besar yaitu menyiram air keseluruh tubuh disertai niat. Keempat, Istinja’ yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari salah satu dua pintu keluarnya kotoran itu.
                        Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh Rasullullah SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa digunakan. Macam - macam hadas juga terbagi menjadi dua ialah hadas kecil yaitu yang disebabkan oleh keluar sesuatu dari dubur dan kubul, sedangkan hadas besar yaitu yang disebabkan oleh keluarnya air mani dan bersetubuh. Dan macam - macam Najis terbagi menjadi tiga yaitu Najis Mukhofafah, Najis Mutawashitho, dan Najis Mogholladhoh.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari Smakalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbuddin, Fiqh Tradisi, Yogyakarta, 2012.
Al fauzan, saleh,  Fiqih Sehari-hari, Gema Insan, Jakarta, 2009.
Dainuri Muhamad, Kajian kitab kuning terhadap ajaran islam, Sinar Jaya, Magelang, 1996.
Hamid, Abdul, Fiqh Ibadah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008.
HR. Muslim, Fadlul Wudlu, Daar al-fikr, Beirut.
Mughniyah, Muhammad jawad, Fiqih Lima Mazhab, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 2001.
Rifa’i, Drs.H. Moh, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1978.
W. Alhafidz Ahsin, Fikih Kesehatan, Amzah, Jakarta, 2007.




[1] Al fauzan, saleh.. Fiqih Sehari-hari. (Jakarta. Gema Insan: 2009). hal: 8.
[2] HR. Muslim Fadlul Wudlu: (Daar  al-fikr. Beirut) . hal.556.
[3] Al fauzan, saleh.. Fiqih Sehari-hari. (Jakarta. Gema Insan: 2009) . hal. 9.
[4] Aibak, Kutbuddin.. Fiqih Tradisi.( Yogyakarta:Teras, 2012) hal :32.
[5] Rifai, Drs. H. Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap. (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1978). Hlm. 63
[6] Abdul Rosyad Shiddiq, Fikih Ibadah.  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006), hal: 80.
[7] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah . (Ponorogo: STAIN Press Ponorogo,2009), hal: 56.
[8] Abdul Rosyad Shiddiq, Fikih Ibadah.  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006), hlm . 41.
[9] Sayyid, Sabiq, Drs, dkk, Fikih Sunah jilid 1,(Jakarta:Mulyaco,1984), hal.128-130.
[10] Sayyid, Sabiq, Drs, dkk, Fikih Sunah jilid 1,(Jakarta:Mulyaco,1984),  hlm. 144
[11] Dainuri Muhamad. ,Kajian kitab kuning terhadap ajaran islam (Magelang :Sinar Jaya Offset,1996) hal.27.
[12] Dainuri Muhamad. ,Kajian kitab kuning terhadap ajaran islam (Magelang :Sinar Jaya Offset,1996) .hal. 28.

4 komentar:

  1. gan, mks atas informasi makalahnya , ijin untuk copy sebagai bahan referensi

    BalasHapus
  2. thank kwan.... jaza kumullaahu khoirul jaza'....

    BalasHapus
  3. syukron ya ukhti, mnta izin copy paste..

    BalasHapus